cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Nirmana
ISSN : -     EISSN : 02150905     DOI : -
Core Subject : Humanities, Art,
NIRMANA Jurnal Deskomvis aims to: Promote a comprehensive approach to visual communication design incorporating viewpoints of different diciplines Strenghten academic exchange with other institution. Encourage designer, practicing, academic and others to conduct research and other similar activities.
Arjuna Subject : -
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol 10, No 1 (2008): JANUARY 2008" : 5 Documents clear
LITERACY AND SECONDARY ORALITY: (SEBUAH ANALISIS PERBANDINGAN KISAH ROMANTIS “A WALK TO REMEMBER” VERSI NOVEL DAN FILM) Triwardani, Reny; Wicandra, Obed Bima
Nirmana Vol 10, No 1 (2008): JANUARY 2008
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (654.457 KB) | DOI: 10.9744/nirmana.10.1.pp. 37-44

Abstract

Electronic media has given birth to public life based on oral culture, though different from the previous understanding, in this case cited as the secondary oral form. The second difference is oral form can be said that the oral culture of the first (primary orality) is based on human physical, whereas the secondary orality is based on technology. It can be seen that the development of communication technology, especially electronic media resource uses audio as an important tool in communication and delivery of information. The forms of media in secondary orality are radio, television, movies, and other electronic media. This paper provides exposure to a comparison between written culture that manifests itself in a novel with a secondary orality embodied in a film. Both types of cultures used to study the novel and film of the same title, namely "A Walk To Remember" by Nicholas Sparks, in his novel in 1999 or in the movie with director Adam Shankman, released in 2002. Based on the indicators of the cultural characteristics of the two forms of writing and secondary orality, there has been a different reading of the work A Walk to Remember. The indicators that show differences are as follow: subjectivity/objectivity, situational/abstract and analytical, aggregative/stand alone, collaborative/authoritative knowledge, and grounded in observable/transcending barriers of time and place. In this form, the secondary orality through the film version has been able to overcome the limitations of audience involvement in reading the text due to the nature of audio visual. In contrast, in the form of novel writing provides the reader with its own pleasure in the freedom of imagination in the reading of text undertaken. Abstract in Bahasa Indonesia: Media elektronika telah melahirkan kembali kehidupan masyarakat yang berdasar atas budaya kelisanan, sekalipun berbeda dengan pengertian yang sebelumnya, dalam hal ini kemudian disebutkan sebagai bentuk kelisanan kedua. Perbedaan kedua bentuk kelisanan ini dapat dikatakan bahwa budaya lisan yang pertama (primary orality) berbasiskan fisik manusia, sedangkan kelisanan kedua berbasis kepada teknologi. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa perkembangan teknologi komunikasi, khususnya media elektronika memanfaatkan kembali sumber kelisanan sebagai alat penting dalam komunikasi dan penyampaian informasi. Bentuk-bentuk media dalam kelisanan kedua diantaranya adalah radio, televisi, film, dam media elektronika lainnya. Tulisan ini untuk memberikan paparan perbandingan antara budaya tulis yang mewujud pada novel dengan kelisanan kedua yang diwujudkan pada film. Kedua jenis budaya ini digunakan untuk mengkaji novel dan film dengan judul yang sama, yaitu “A Walk To Remember” yang ditulis oleh Nicholas Sparks dalam novelnya tahun 1999 atau pada filmnya dengan sutradara Adam Shankman yang dirilis pada tahun 2002. Berdasarkan indikator karakteristik kedua bentuk budaya tulis maupun kelisanan kedua, telah terjadi pembacaan yang berbeda dari sebuah karya A Walk to Remember. Indikator-indikator yang menunjukkan keberbedaan tersebut adalah sebagai berikut; Subyektifitas/Objektifitas, Situasional/Abstrak dan analitikal, Aggregative/ Stand alone, Collaborative/authoritative knowledge dan Grounded in observable/ transcending barriers of time and place. Dalam hal ini bentuk kelisanan kedua, melalui versi filmnya, telah mampu mengatasi keterbatasan keterlibatan penonton dalam melakukan pembacaan teks karena sifat audio visualnya. Sebaliknya, dalam bentuk karya tulis pada novelnya, tetap memberikan kenikmatan tersendiri bagi pembacanya dalam kebebasan imajinasi dalam pembacaan teks yang dilakukan. Kata kunci: kelisanan kedua, literacy, film, novel, A Walk To Remember.
ROMANTIKA MANUSIA MELAYU DI BANDAR RAYA (IMAJI-IMAJI KEHIDUPAN KOTA DALAM KOMIK KARTUN MALAYSIA-INDONESIA) Budiyanto, Ary; Wicandra, Obed Bima
Nirmana Vol 10, No 1 (2008): JANUARY 2008
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1032.322 KB) | DOI: 10.9744/nirmana.10.1.pp. 1-11

Abstract

A big city or a metropolitan is a symbol of modernization and globalization. What happens in a big city in this article is stories of ordinary people struggling for a decent living in the dusts of global modernity in a big Malay city. These people are often village migrants. The attraction of modern city lifestyle offers cultural addiction that is foreign for the migrants, even if sometimes it is considered a threat culturally from where they are from. Eventually, adaptation, adoption, and even apathy towards values, symbol, and the city’s global modernity create diverse lifestyles, romances, and identities of its citizens. This article observes how the citizens, the city, and its romance present in the reflections of some Malaysian and Indonesian cartoonists, like in the visualization of the comic “Mat Som” by Dato Lat, and the comic script Kee’s World (1989) of Malaysia and Benny and Mice of Indonesia. Cartoonists, as social observers, tell us how the city is recognized in the lives of the Malay people in two different countries. Abstract in Bahasa Indonesia: Kota Besar atau Bandar Raya modern adalah simbol dari modernisasi dan globalisasi. Apa yang terjadi di sebuah kota besar di artikel ini adalah cerita-cerita orang biasa yang mencari kehidupan yang layak dalam debu modernitas global di kota besar dunia melayu. Tak jarang mereka adalah orang yang datang dari kampung (atau luar daerah). Pikatan gaya hidup kota modern ini menawarkan candu budaya yang ‘asing’ bagi pendatang, meski tak jarang hal itu dianggap ‘ancaman’ bagi budaya ‘asal’. Akhirnya, adaptasi, adopsi, maupun, antipati pada nilai-nilai, simbol, modernitas global perkotaan itupun menciptakan keberagaman gaya hidup, romantika, dan identitas penghuni kota. Artikel ini akan melihat bagaimana penghuni kota, kota, dan romantikanya hadir dalam renungan-renungan para kartunis malasyia dan Indonesia seperti, di antaranya, dalam visualisasinya komik “Mat Som” karya Dato Lat dan komik Script Kee’s World (1989) Malaysia dan Benny & Mice Indonesia. Kartunis, sebagai pengamat sosial, menuturkan pada kita bagaimana kota dihayati dalam kehidupan bangsa melayu di dua negara yang berbeda. Kata kunci: romantika kota, narasi visual, komik, Malaysia, Indonesia.
TINJAUAN VISUAL GAMBAR UANG KERTAS INDONESIA Banindro, Baskoro Suryo
Nirmana Vol 10, No 1 (2008): JANUARY 2008
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (701.479 KB) | DOI: 10.9744/nirmana.10.1.pp. 12-19

Abstract

Images depicted on currency bills are works of art containing aesthetic value. They involve elements of letters, pictures, colors, and specialized printing techniques. Moreover, the images indicate information and even visual codes. Understanding art is attempt to interpret symbols used in a certain culture. One can express and implement one’s experience in forms or images. In images of currency bills, their visual expressions can reflect ideas, concepts, or political legitimation and ideology. Thus, this article investigates symbolic meanings through visual semiotic descriptions of images in Indonesian currency bills. Abstract in Bahasa Indonesia: Gambar pada uang kertas adalah salah satu hasil karya seni rupa, di dalam uang kertas terkandung nilai estetika yang berhubungan dengan masalah keindahan visual, antara lain tersusun atas elemen huruf, gambar, warna serta teknik cetak yang khas. Selain itu gambar pada uang kertas sarat dengan muatan informasi, atau bahkan kode visual. Memahami seni adalah usaha membaca simbol yang digunakan dalam budaya masyarakat tertentu, manusia dapat mengekspresikan dan memancarkan pengalamannya dalam bentuk ujud atau rupa. Dalam gambar uang kertas, ekspresi visual yang dituangkan dapat mencerminkan gagasan, ide, konsep atau muatan politik terkait legitimasi dan ideologi. Melalui uraian semiotika visual gambar uang kertas yang pernah beredar di Indonesia, akan dikaji makna-makna simbolik bahasa rupa di dalamnya. Kata kunci: bahasa rupa, semiotika visual, Uang Kertas Indonesia.
AUGMENTED REALITY APPLICATIONS IN HAND-HELD DEVICES IN THE LIGHT OF BAUDRILLARD’S “SIMULACRA AND SIMULATION” Erandaru, Erandaru
Nirmana Vol 10, No 1 (2008): JANUARY 2008
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (181.318 KB) | DOI: 10.9744/nirmana.10.1.pp. 20-25

Abstract

Baudrillard merupakan salah satu tokoh dalam filsafat postmodern yang mengkritik kehadiran media dunia maya dalam budaya hidup manusia saat ini. Baudrillard melontarkan pendapat bahwa interaksi manusia dengan media tersebut tidak membawa manfaat. Lebih jauh lagi dia mengkhawatirkan bahwa masyarakat dapat menjadi obyek bagi media. kemampuan media tersebut untuk membentuk dunia impian yang dapat menarik masyarakat untuk semakin menjauh dari kehidupan nyata. Perkembangan terakhir dalam teknologi virtual telah memungkinkan kehadirannya secara luas di pasar dan dalam jangkaun daya beli konsumen melalui aplikasi augmented reality. Aplikasi dengan konsep untuk memungkinkan pengguna melihat dunia maya terintegrasi ke dalam dunia nyata. Suatu pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan aplikasi yang menggunakan teknologi virtual reality pada umumnya yang berusaha untuk menghadirkan pengguna ke dalam dunia maya. Bukannya semakin menarik pengguna menjauh dari dunia nyata, aplikasi augmented reality justru semakin menarik pengguna untuk berinteraksi dengan dunia nyata. Walaupun masih terlalu dini untuk mengetahui seberapa jauh dampak teknologi augmented reality bagi masyarakat, pemahaman terhadap kritik yang dilontarkan oleh Baudrillard setidaknya mampu memberikan wawasan bagi pelaku desain media dalam memanfaatkan teknologi augmented reality dan menerapkannya sedemikian hingga membantu dalam meningkatkan wawasan dan kepedulian masyarakat terhadap dunia nyata. Abstract in Bahasa Indonesia: Baudrillard is one of postmodernist theorists that criticize the unreality of the culture which we live in. He suggests that human interactions with virtual reality media and unreal technologies, achieve nothing; He even fears that society will fall prey to these media subjectivity. The virtual reality media capability to produce simulated reality could mislead society into voluntary detachment with the real world. The latest development in virtual technology has made it available within the consumer market in the form of augmented reality application. An application based on a concept that merges virtual data within the physical environment, a different approach compared to common virtual reality technology where user is immersed within a virtual environment. Instead of detachment, augmented reality offers attachment with reality. While it is still too early to study augmented reality technology’s impact on society, a study on Baudrillard’s critiques will nevertheless gives a valuable insight on how designers could make use of augmented reality technology to shape society with a sense of consciousness of the real world. Keywords: Baudrillard, augmented reality applications.
MAKNA TANDA PADA FESYEN PENGANTIN JAWA BERGAYA MODERN Aryanto, Hendro
Nirmana Vol 10, No 1 (2008): JANUARY 2008
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.9744/nirmana.10.1.pp. 26-31

Abstract

With the advancement of time, traditional wedding fesyen has gone through development and modification. The changes can be observed through the make-up techniques, materials of the gowns, and the hair-dos, such as sanggul. This article is focused on the shift of the meaning in modern style Javanese wedding fesyen because of its development and modification. The analysis method uses Roland Barthes’ sign analysis. The conclusion shows that modern traditional Javanese wedding fesyen is a representation of cultural shifts and an accumulation of established values and modernization effects. The goal is to develop a higher self-image by reproducing the current situation and condition. Abstract in Bahasa Indonesia: Seiring dengan perjalanan waktu, fesyen pengantin tradisional mengalami perkembangan dan modifikasi. Perubahan bisa terlihat dari tata rias wajah, bahan gaun yang dipergunakan, dan sanggul. Fokus tulisan ini mengangkat tentang masalah pergeseran makna pada fesyen pengantin Jawa bergaya modern dikerenakan perkembangan dan modifikasi. Metode analisis menggunakan analisis tanda dari Roland Barthes. Hasil analisis menunjukkan bahwa fesyen pada pengantin tradisional bergaya Jawa modern, adalah representasi pergeseran budaya dan perpaduan dari nilai-nilai yang sudah pakem dengan efek modernisasi. Tujuannya adalah membangun citra diri yang lebih tinggi dengan mereproduksi kondisi dan situasi yang ada. Kata kunci: makna, tanda, fesyen, pengantin, jawa, modern.

Page 1 of 1 | Total Record : 5